BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam usaha membangun hukum yang
bermuara pada karakter ke-Indonesiaan, para pemikir hukum di negeri ini
memiliki komitmen, bahwa hukum nasional yang hendak diciptakan merupakan
kerangka acuan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, untuk menemukan
identitas hukum nasional. Banyak masalah yang dihadapi dalam pembangunan
hukum nasional, hal itu tidak hanya berkenaan dengan usaha untuk
menciptakan hukum nasional, baik yang sama sekali baru maupun untuk
menggantikan hukum kolonial.
Dalam rangka pembinaan hukum
nasional, oleh karena usaha pembinaan hukum tidak saja memerlukan
bahan-bahan tentang perkembangan hukum masa kini saja, akan tetapi juga
bahan-bahan mengenai perkembangan dari masa lampau. Melalui sejarah
hukum kita akan mampu menjajaki berbagai aspek hukum Indonesia pada masa
yang lalu, hal mana akan dapat memberikan bantuan kepada kita untuk
memahami kaidah-kaidah serta institusi-institusi hukum yang ada dewasa
ini dalam masyarakat bangsa kita.
Ilmu hukum
tak lepas dari karakter ilmu pengetahuan pada umumnya. Ilmu hukum juga
melanjutkan atau berpedoman pada sejumlah asumsi-asumsi, dalam kerangka
dasar umum habitat ilmu hukum.
Paradigma hukum positif nasional Indonesia yang masih di terima secara
bulat pada saat ini adalah sebuah paradigma hukum yang lahir dari nuansa
kebangsaan setelah melewati perjalanan sejarah panjang atau dalam
istilah Soepomo sebagaimana dikutip oleh A. Gunawansetiadji dalam
bukunya yang berjudul dealektika hukum dan moral dalam pembangunan hukum
di Indonesia. Disebut sebagai ´suasana bathin bangsa Indonesia´ (1990:
158).
Bermula dari jaman klasik, zaman agraris pedesaan dengan spesifikasi
kekeluargaan , jaman gerakan revolusioner melawan penjajahan belanda dan
jepang hingga jaman kemerdekaan yang menuju era indonesia modern
sebagai negara maju.
Hukum tumbuh berarti bahwa ada
terdapat hubungan yang erat, sambung-menyambung atau hubungan yang tak
terputus-putus antara hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau.
Hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau merupakan satu
kesatuan. Itu berarti, bahwa kita dapat mengerti hukum kita pada masa
kini, hanya dengan penyelidikan sejarah, bahwa mempelajari hukum secara
ilmu pengetahuan harus bersifat juga mempelajari sejarah. (Van
Apeldroon, hal. 417).
Dari uraian tersebut maka penulis terdorong untuk mengetahui perkembangan hukum doktriner di Indonesia
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan hukum doktriner di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Ilmu Hukum
Dalam bahasa Inggris ilmu hukum dikenal dengan kata “legal science” hal ini sangat keliru jika diartikan secara etimologis, legal dalam bahasa Inggris berakar dari kata lex (latin) dapat diartikan sebagai undang-undang. Law
dalam bahasa inggris terdapat dua pengertian yang berbeda, yang pertama
merupakan sekumpulan preskripsi mengenai apa yang seharusnya dilakukan
dalam mencapai keadilan dan yang kedua merupakan aturan perilaku yang
ditujukan untuk menciptakan ketertiban masyarakat.
Pengertian pertama dalam bahasa Latin disebut ius, dalam bahasa Perancis droit, dalam bahasa Belanda recht, dalam bahasa Jerman juga disebut Recht, sedangan dalam bahasa Indonesia disebut Hukum. Sedangkan dalam arti yang kedua dalam bahasa Latin di sebut Lex, bahasa Perancis loi, bahasa Belanda wet, bahasa Jerman Gesetz, sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut Undang-Undang. Kata law di dalam bahasa Inggris ternyata berasal dari kata lagu, yaitu aturan-aturan yang dibuat oleh para raja-raja Anglo-Saxon yang telah dikodifikasi. Lagu ternyata berada dalam garis lex dan bukan ius. Apabila hal ini diikuti, istilah legal science
akan bermakna ilmu tentang aturan perundang-undangan. Hal ini akan
terjadi ketidak sesuaian makna yang dikandung dalam ilmu itu sendiri.
Dalam bahasa Inggris ilmu hukum disebut secara tepat disebut sebagai Jurisprudence. Sedangkan kata Jurisprudence berasal dari dua kata latin, yaitu iusris yang berarti hukum dan prudentia yang artinya kebijaksanaan atau pengetahuan. Dengan demikian, Jurisprudence berarti pengetahuan hukum.
Jika dari segi etimologis tidak berlebihan oleh Robert L Hayman memberi pengertian ilmu hukum dalam hal ini Jurisprudence secara luas sebagai segala sesuatu yang bersifat teoritis tentang hukum.
Disini dapat dilihat bahwa ilmu hukum itu suatu bidang ilmu yang
berdiri sendiri yang kemudian dapat berintegral dengan ilmu-ilmu lain
sebagai suatu terapan dalam ilmu pengetahuan yang lain. Sebagai ilmu
yang berdiri sendiri maka obyek penelitian dari ilmu hukum adalah hukum
itu sendiri, mengingat kajian hukum bukan sebagai suatu kajian yang
empiris, maka oleh Gijssels dan van Hoecke mengatakan ilmu hukum (jurisprudence)
adalah merupakan suatu ilmu pengetahuan yang secara sistematis dan
teroganisasikan tentang gejala hukum, struktur kekuasaan, norma-norma,
hak-hak dan kewajiban.
Jurisprudence merupakan suatu disiplin ilmu yang bersifat sui generis. Maka kajian tersebut tidak termasuk dalam bidang kajian yang bersifat empirik maupun evaluatif. Jurisprudence bukanlah semata-mata studi tentang hukum, melainkan lebih dari itu yaitu studi tentang sesuatu mengenai hukum secara luas.
Ilmu hukum memandang hukum dari dua
aspek; yaitu hukum sebagai sistem nilai dan hukum sebagai aturan
sosial. Dalam mempelajari hukum adalah memahami kondisi intrinsik aturan
hukum. Hal inilah yang membedakan ilmu hukum dengan disiplin lain yang
mempunyai kajian hukum disiplin-disiplin lain tersebut memandang hukum
dari luar. Studi-studi sosial tentang hukum menempatkan hukum sebagai
gejala sosial. Sedangkan studi-studi yang bersifat evaluatif
menghubungkan hukum dengan etika dan moralitas.
2. Fungsi dan Tujuan Hukum
a. Fungsi Hukum
Dimana ada masyarakat di sana ada hukum
(ubi societas ibi ius).
Hukum ada pada setiap masyarakat, kapan pun, di manapun dan
bagaimanapun keadaan masyarakat tersebut. Artinya eksistensi hukum
bersifat sangat universal, terlepas dari keadaan hukum itu sendiri
sangat dipengaruhi oleh corak dan warna masyarakatnya (hukum juga
memiliki sifat khas, tergantung dengan perkembangan dan perubahan yang
terjadi dalam sebuah komunitas)
.
Dalam sejarah pemikiran ilmu hukum, terdapat dua paham mengenai fungsi dan peran hukum dalam masyarakat:
Pertama, mengatakan bahwa fungsi hukum adalah mengikuti dan mengabsahkan (justifikasi)
perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, artinya hukum
sebagai sarana pengendali sosial. Maka yang tampak, hukum bertugas
mempertahankan ketertiban atau pola kehidupan yang ada. Paham ini
dipelopori ahli hukum mazhab sejarah dan kebudayaan dari Jerman yang
diintrodusir oleh Friedrich Carl von Savigny (1799-1861).
Kedua, menyatakan hukum berfungsi sebagai sarana untuk melakukan
perubahan-perubahan dalam masyarakat. Paham ini dipelopori oleh ahli
hukum dari Inggris, Jeremy Bentham (1748-1852), untuk kemudian
dipopulerkan oleh Juris Amerika dengan konsepsi "hukum (harus juga)
berfungsi sebagai sarana untuk mengadakan perubahan masyarakat" (law as a tool of social engineering).
b. Tujuan Hukum
Dalam menjalankan fungsinya sebagai sarana pengendali dan perubahan
sosial, hukum memiliki tujuan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang
tertib, damai dan adil yang ditunjang dengan kepastian hukum sehingga
kepentingan individu dan masyarakat dapat terlindungi. Dalam beberapa
literatur ilmu hukum para sarjana hukum telah merumuskan tujuan hukum
dari berbagai sudut pandang dan paling tidak ada 3 teori
:
1). Teori etis
Teori etis pertama kali dikemukakan oleh filsuf Yunani, Aristoteles, dalam karyanya ethica dan rhetorika
yang menyatakan bahwa hukum memiliki tujuan suci memberikan kepada
setiap orang apa yang menjadi haknya. Menurut teori ini hukum
semata-mata bertujuan demi keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan
etis kita mana yang adil dan mana yang tidak. Artinya hukum menurut
teori ini bertujuan mewujudkan keadilan.
Mengenai isi keadilan, Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan; justitia distributive (keadilan distributif) dan justitia commulative
(keadilan komuliatif). Keadilan distributif adalah suatu keadilan yang
memberikan kepada setiap orang berdasarkan jasa atau haknya
masing-masing. Makna keadilan bukanlah persamaan melainkan perbandingan
secara proposional. Adapun keadilan kumulatif adalah keadilan yang
diberikan kepada setiap orang berdasarkan kesamaan. Keadilan terwujud
ketika setiap orang diperlakukan sama.
2). Teori Utilitis
Menurut teori ini hukum bertujuan untuk menghasilkan kemanfaatan yang
sebesar-besarnya pada manusia dalam mewujudkan kesenangan dan
kebahagiaan. Penganut teori ini adalah Jeremy Bentham dalam bukunya "Introduction to the morals and legislation".
Pendapat ini dititik beratkan pada hal-hal yang berfaedah bagi orang
banyak dan bersifat umum tanpa memperhatikan aspek keadilan.
3). Teori Campuran
Menurut Apeldoorn tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam
masyarakat secara damai dan adil. Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan
bahwa kebutuhan akan ketertiban ini adalah syarat pokok (fundamental)
bagi adanya masyarakat yang teratur dan damai. Dan untuk mewujudkan
kedamaian masyarakat maka harus diciptakan kondisi masyarakat yang adil
dengan mengadakan perimbangan antara kepentingan satu dengan yang lain,
dan setiap orang (sedapat mungkin) harus memperoleh apa yang menjadi
haknya. Dengan demikian pendapat ini dikatakan sebagai jalan tengah
antara teori etis dan utilitis.
3. Sumber-Sumber Hukum
a. Arti tentang sumber hukum
1). Sumber hukum dalam
pengertian asal hukum yaitu: Keputusan otoritas yang berwenang mengenai
sebuah keputusan hukum, bisa berupa peraturan atau ketetapan. Pengertian
ini membawa pada suatu penyelidikan tentang kewenangan.
2). Sumber hukum dalam
pengertian tempat ditemukannya peraturan hukum. Sumber hukum dalam
pengertian ini membawa pada satu penyelidikan tentang macam, jenis atau
bentuk-bentuk dari peraturan. Misalnya: apakah sumber hukum tersebut
Undang-Undang, Kebiasaan, Yurisprudensi, atau bentuk yang lainnya.
3). Sumber hukum dalam
pengertian hal-hal yang dapat mempengaruhi penguasa dalam menentukan
hukum. Misalnya: keyakinan hukum, rasa keadilan baik dari penguasa atau
rakyat dan juga teori-teori atau ajaran dari ilmu pengetahuan hukum.
Hal-hal yang dapat mempengaruhi penentuan hukum meliputi semua bidang
kehidupan masyarakat, baik itu sosial, politik, budaya, maupun ekonomi.
Di samping ketiga makna sumber hukum di atas, terdapat juga kategori sumber hukum lain, yakni;
1). Sumber hukum material
adalah faktor yang membantu penentuan atau pembentukan hukum. Sumber
hukum ini dapat ditinjau dari berbagai aspek.
2). Sumber hukum formal
adalah tempat atau sumber di mana hukum positif dapat ditemukan. Dari
segi bentuk berupa Undang-Undang, Kebiasaan, Traktat, Yurisprudensi dan
doktrin.
a). Undang-Undang
"Undang-Undang" sering digunakan dalam dua pengertian, yaitu
Undang-Undang dalam arti formal dan Undang-Undang dalam arti material.
Undang-Undang dalam arti formal adalah keputusan atau ketetapan yang
dilihat dari bentuk dan cara pembuatannya disebut Undang-Undang. Dilihat
dari bentuknya, Undang-Undang berisi konsideran dan diktum (amar
putusan). Sementara dari cara pembuatannya, Undang-Undang adalah
keputusan atau ketetapan produk lembaga yang berwenang. Di Indonesia
lembaga yang berwenang adalah Presiden dan DPR (UUDS 1950 psl 89, UUD
1945 psl 5 (1) jo. psl 20 (1), sementara di Amerika lembaga yang
berwenang adalah Congress.
Undang-Undang dalam arti material adalah keputusan atau ketetapan yang
dilihat dari isinya disebut Undang-Undang dan mengikat setiap orang
secara umum. Dalam pengertian ini yang menjadi perhatian adalah isi
peraturan yang sifatnya mengikat tanpa mempersoalkan segi bentuk atau
siapa pembentuknya. Undang-Undang dalam arti material sering juga
disebut dengan peraturan (regeling) dalam arti luas. Undang-Undang dalam arti formal tidak dengan sendirinya sebagai Undang-Undang dalam arti material. Demikian sebaliknya.
Syarat mutlak berlakunya suatu Undang-Undang ialah ketika telah
diundangkan dalam lembaran negara (LN) oleh Menteri/Sekertaris negara,
sejak tanggal yang ditentukan sendiri dalam Undang-Undang (pada saat
diundangkan, pada tanggal tertentu, ditentukan berlaku surut, atau
berlakunya akan ditentukan kemudian hari dengan peraturan lain), atau
jika tidak dicantumkan maka, Undang-Undang berlaku 30 hari setelah
diundangkan.
Adapun masa berlakunya Undang-undang berakhir karena; ditentukan oleh
Undang-Undang sendiri, dicabut secara tegas, Undang-Undang lama
bertentangan dengan Undang-Undang baru, atau timbulnya hukum kebiasaan
yang bertentangan dengan Undang-Undang atau Undang-Undang tidak ditaati
lagi.
(1). Asas berlakunya suatu Undang-Undang:
- Undang-Undang yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan Undang-Undang yang kedudukannya lebih tinggi dalam mengatur hal
yang sama (lex superior derogat legi in feriori).
- Undang-Undang yang
bersifat khusus mengesampingkan Undang-Undang yang bersifat umum,
apabila Undang-undang tersebut kedudukannya sama. (lex speciales derogat legi generali).
- Undang-Undang yang
berlaku belakangan membatalkan Undang-Undang yang terdahulu, sejauh
Undang-Undang tersebut mengatur hal yang sama (lex posterior derogat
legi priori).
- Undang-Undang yang telah diundangkan dianggap telah diketahui oleh setiap orang.
(2). Hierarki perundang-undangan
Undang-Undang dalam arti material memiliki tata urutan peraturan sesuai dengan Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 jo. No. V/MPR/1973 :
- Undang-Undang Dasar 1945
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
- Undang-Undang /Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
- Peraturan Pemerintah
- Keputusan Presiden
- Peraturan Pelaksana lainnya, seperti peraturan menteri atau instruksi menteri.
b). Kebiasaan (Custom)
Kebiasaan merupakan tindakan menurut pola tingkah laku yang tetap, ajeg,
dan normal di dalam suatu masyarakat atau komunitas hidup tertentu. Sebagai
sebuah perilaku yang tetap (ajeg) kebiasaan merupakan perilaku yang
selalu berulang hingga melahirkan satu keyakinan atau kesadaran bahwa
hal itu patut dilakukan dan memiliki kekuatan normatif yang mengikat. Tidak semua kebiasaan dapat menjadi sumber hukum, kebiasaan yang dapat menjadi sumber hukum meniscayakan beberapa syarat:
- Syarat materiil adanya perbuatan tingkah laku yang dilakukan berulang-ulang
- Syarat intelektual adanya keyakinan hukum dari masyarakat yang bersangkutan
- Adanya akibat hukum apabila kebiasaan dilanggar.
(1). Kelemahan hukum kebiasaan:
- Hukum kebiasaan bersifat tidak tertulis oleh karenanya tidak dapat dirumuskan secara jelas dan sukar menggantinya.
- Hukum kebiasaan tidak menjamin kepastian hukum dan sering menyulitkan dalam beracara karena kebiasaan sangat beraneka ragam.
c). Traktat (Treaty)
Traktat adalah perjanjian yang dibuat antar negara yang dituangkan dalam
bentuk tertentu. Pasal 11 Undang-Undang Dasar menentukan: "Presiden
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain." Perjanjian dengan negara
lain yang dikehendaki dalam diktum pasal 11 Undang-Undang Dasar adalah
perjanjian antar negara atau perjanjian internasional yang kekuatan
hukumnya sama dengan Undang-Undang. Mengingat secara prosedural
perjanjian antar negara dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.
Traktat atau perjanjian yang secara prosedural harus disampaikan pada
Dewan Perwakilan Rakyat sebelum diratifikasi adalah perjanjian yang
mengandung materi sebagai berikut:
- Soal-soal politik atau persoalan yang dapat mempengaruhi haluan
politik luar negeri: perjanjian perbatasan wilayah, contoh: traktat
bilateral Indonesia-Papua Nugini mengenai batas wilayah, perjanjian
persahabatan.
- Ikatan yang mempengaruhi haluan politik luar negeri seperti perjanjian ekonomi dan teknis pinjaman uang.
- Persoalan yang menurut sistem perundang-undangan harus diatur dengan Undang-Undang: kewarganegaraan dan soal kehakiman.
Adapun perjanjian yang lazim disebut agreement adalah perjanjian yang
mengandung materi lain cukup disampaikan pada DPR sebatas untuk
diketahui setelah diratifikasi oleh Presiden.
Ketika sebuah perjanjian telah diratifikasi maka berlakulah apa yang dinamakan "
Pakta Sun Servada"
artinya perjanjian mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian.
Persoalannya apakah traktat itu secara langsung mengikat seluruh warga
negara? Pendapat pertama, traktat tidak dapat secara langsung mengikat
penduduk di suatu wilayah negara. Agar traktat dapat mengikat seluruh
warga negara maka traktat harus terlebih dahulu dituangkan dalam hukum
nasional. Pendapat yang dikemukakan Laband dan Telders (ahli Hukum
Belanda) ini dinamakan teori inkorporasi. Adapun pendapat kedua, traktat
mengikat secara langsung penduduk di wilayah negara yang meratifikasi
suatu perjanjian. Pendapat ini dianut oleh van Volenhoven, Hamaker dan
dianut oleh Kerajaan Belanda pada tahun 1906. Teori ini mengakui "Primat
Hukum Antar Negara" yaitu mengakui hukum antar negara lebih tinggi
derajatnya dari hukum nasional
.
d). Yurisprudensi
Dari segi praktik peradilan yurisprudensi adalah keputusan hakim yang
selalu dijadikan pedoman hakim lain dalam memutuskan kasus-kasus yang
sama. Sebuah
putusan pengadilan pada dasarnya hanya mengikat para pihak yang
bersengketa (psl 1917 BW) dan tidak mengikat setiap orang pada umumnya
seperti Undang-Undang. Putusan adalah hukum sejak dijatuhkan hingga
dilaksanakan. Dan setelah dilaksanakan putusan pengadilan hanyalah
merupakan sumber hukum. Sebab-sebab seorang hakim mempergunakan putusan hakim lain: pertimbangan psikologis, pertimbangan praktis dan memiliki pendapat yang sama.
e). Doktrin
Undang-undang, perjanjian internasioanl dan yurisprudensi adalah sumber
hukum. Tidak mustahil sumber-sumber hukum ini tidak dapat memberikan
jawaban mengenai hukumnya, maka hukum dicari dari pendapat para sarjana
hukum atau ilmu hukum. Ilmu
hukum bukanlah hukum, karena tidak memiliki kekuatan mengikat, namun
ilmu hukum memiliki wibawa karena didukung oleh para ahli hukum (yuris)
dan sebagai sebuah ilmu, ilmu hukum memiliki sifat obyektif. Selaras
dengan sifat yang harus dimiliki sebuah hukum yakni wibawa dan obyektif.
Doktrin sebagai sumber hukum tampak jelas dalam hukum internasional.
Mahkamah Internasional dalam Piagam Mahkamah Internasional pasal 38 (1)
mengakui pendapat-pendapat ahli hukum sebagai pedoman dalam
mempertimbangkan dan memutuskan suatu sengketa atau perselisihan. Di
Indonesia khususnya dalam pengadilan agama, pendapat para fukaha (ahli
hukum islam) banyak digunakan sebagai pertimbangan dalam memutuskan
perkara di pengadilan agama.
4. Sejarah Hukum
Sejarah Hukum adalah bidang studi
tentang bagaimana hukum berkembang dan apa yang menyebabkan
perubahannya. Sejarah hukum erat terkait dengan perkembangan peradaban
dan ditempatkan dalam konteks yang lebih luas dari sejarah sosial. Di
antara sejumlah ahli hukum dan pakar sejarah tentang proses hukum,
sejarah hukum dipandang sebagai catatan mengenai evolusi hukum dan
penjelasan teknis tentang bagaimana hukum-hukum ini berkembang dengan
pandangan tentang pemahaman yang lebih baik mengenai asal-usul dari
berbagai konsep hukum. Sebagian orang menganggapnya sebagai bagian dari
sejarah intelektual.
Sebenarnya tak lain dari pada
pertelahaan sejumlah peristiwa-peristiwa yuridis dari zaman dahulu yang
disusun secara kronologis adalah kronik hukum. Dahulu sejarah hukum yang
demikian itupun disebut “antiquiteiter”. Sejarah adalah suatu proses,
jadi bukan sesuatu yang berhenti, melainkan sesuatu yang bergerak; bukan
mati, melainkan hidup. Hukum sebagai gejala sejarah berarti tunduk pada
pertumbuhan yang terus menerus. Pengertian tumbuh membuat dua arti
yaitu perubahan dan stabilitas.
Mempelajari sejarah hukum memang
bermanfaat, demikian yang dikatakan Macauly bahwa dengan mempelajari
sejarah sama faedahnya dengan membuat perjalanan ke negeri-negeri yang
jauh. Ia meluaskan penglihatan dan memperbesar pandangan hidup kita
dengan membuat perjalanan di negeri-negeri asing. Sejarah mengenalkan
kita dengan keadaan-keadaan yang sangat berlainan dari pada yang biasa
kita kenal dan dengan demikian melihat, bahwa apa yang kini terdapat
pada kita bukanlah satu satunya yang mungkin. (Sudarsono, hal. 254).
Penyelidikan sejarah membebaskan
kita dari prasangka-prasangka, ia menyebabkan bahwa kita tidak begitu
saja menerima yang ada sebagai hal yang demikian melainkan menghadapinya
secara kritis. Sebagai ilmu sosial dan ilmu budaya, sejarah menelaah
aktivitas manusia dan peristiwa-peristiwanya yang terjadi pada masa lalu
dalam kaitannya dengan masa kini. Sebagai ahli sejarah, tidak harus
puas dengan deskripsi saja dan harus berusaha untuk memakainya serta
bagaimana prosesnya yang pusat perhatiannya adalah uniknya dan khasnya
peristiwa-peristiwa tersebut.
Pada sejarah hukum umum yang
menjadi ruang lingkupnya adalah perkembangan secara menyeluruh dari
suatu hukum positif tertentu. Objek khususnya adalah sejarah pembentukan
hukum atau pengaruh dari sumber-sumber hukum dalam arti formil pada
peraturan-peraturan tertentu.
Hukum adalah sekumpulan peraturan
yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang
sehingga dapat dipaksakan pemberlakuannya berfungsi untuk mengatur
masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi
pelanggarnya.
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara
sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan,
perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan
tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
5. Perkembangan paradigma ilmu hukum
Masuk dan tumbuhnya
kekuasaan barat di Indonesia menyebabkan masuk pula perkembangan
pemikiran yang terjadi di Eropa. Terutama ketika kepada orang-orang
indonesia diberikan kesempatan untuk menempuh pendidikan di Eropa.
Orang-orang Indonesia mulai berkenalan dengan elemen-elemen ideologi aufklarung sebagai ideologi sekuler yang terkait erat pertumbuhannya dengan perkembangan rasionalisme.
Orang Indonesia mulai mengenal ajaran mengenai hak-hak asasi,
kemerdekaan, persaman, demokrasi, republik, konstitusi, hukum negara dan
masyarakat. Pemikir pemikir seperti John lock, Thomashobbes, Rousseau,
diketahui serta individulisme, liberlisme, kapitalisme, sosilisme dan
marxisme didalaminya. Pada awal abad ke 20 pemerintah Hindia Belanda
mulai menyediakan fasilitas pendidikan bagi orang Indonesia secara
terbatas sehingga lambat laun berkembang cikal bakal kelas menengah yang
berpendidikan sekalipun masih sangat kecil. Sejumlah kecil mahasiswa
Indonesia yang berhasil belajar di Belanda sangat dipengaruhi oleh
kondisi politis maupun ide-ide politis yang mereka temukan disana.
Kebebasan-kebebasan sipil dan pemerintahan demokratis yang mereka lihat
di Belanda sangat berlawanan dengan kondisi- kondisi di Indonesia,
sehingga hal ini membuat para mahasiswa Indonesia sangat terkesan.
Selain itu juga awal dekade 1960 an banyak kalangan intelektual
Indonesia yang mulai akrab dengan teori-teori modernisasi yang mereka
kenal baik selama studi di negeri barat maupun dari bacaan-bacaan yang
mereka peroleh. Perkembangan pemikiran para ahli hukum Indonesia menjadi
satu pembahasan yang menarik untuk didiskusikan. Munculnya sebuah
teori pemikiran hukum juga tidak dapat dilepaskan dari latar belakang
solusinya.
Tipologi pemikiran hukum disini adalah satu
kajian tentang tipe-tipe pemikiran para ahli hukum Indonesia pasca
kemerdekaan sampai masa orde baru khususnya dekade 1990-an. Pemikiran
yang dikemukakan oleh para ahli hukum merupakan pemikiran yang tidak
dipisahkan dari realitas budaya hukum di Indonesia secara keseluruhan.
Oleh karena pemikiran hukum mereka bukannya semata-mata
membahas persoalan-persoalan yang berkaitan dengan aspek
normatif-doktriner, tetapi juga berhubungan dengan analisis, respon dan
refleksi mereka terhadap permasalahan hukum dan konseptualisasi hukum
dalam perspekti sosiologis. Sementara itu, penting dikemukakan bahwa
tipologi yang diuraikan lebih merupakan peta yang didasarkan pada
kecenderungan umum pemikiran hukum di Indonesia. Dari peta tersebut
diharapkan sosok dan profil pemikiran para ahli hukum Indonesia akan
tampak lebih jelas, selain itu dalam diskripsinya, tipologi tidak
semata-mata mendasarkan diri pada aliran pemikiran yang dianut oleh
masing-masing ahli hukum, tetapi juga mengamati kerangka teoritis atau
pendekatan yang digunakan.
Tipologi pemikiran ahli hukum
periode pasca kemerdekaan menunjukkan suatu model pemikiran yang
mengutamakan komitmen pada hukum adat, dalam kontek politik
hukum pemikiran formalistik memperlihatkan perhatian terhadap suatu
orientasi yang cenderung menopang sebuah tatanan hukum yang dibayangkan,
seperti terwujudnya suatu sistem hukum nasional, ekspresi simbolis dan
idiom-idiom hukum yang entitasnya menuju hukum adat sebagai karateristik
hukum nasional, oleh karena itu pemikir-pemikir hukum saat itu
yangdipresentasikan oleh Prof.,Dr.,Mr. Soepomo dan Prof.,Dr.,Mr Soekanto
sangat menekankan ideologis atau politisasi yang mengarah pada
simbolisme hukum adat (Khudzaifah Dimyati ,2004: 239).
Dalam perkembangannya pemikiran hukum dengan tipologi formalistik pada
dekade 1960 sampai 1970 mulai memperlihatkan suatu karateristik
pemikiran yang mengutamakan peneguhan pada asas-asas yang ketat pada
format-format postulat hukum pada pemikiran hukum pada periode ini.
Salah satunya direpresentasikan oleh Prof. Djoko Soetono, Beliau
mengatakan bahwa dalam pikiran seorang ahli tidak berdiri sendiri dan
tidak otonom, tetapi dipengruhi oleh suasana sekitarnya.
Oleh karena itu, selayaknya kita
menyesuaikan diri dengan masalah pembentukan konstituante dan
konstitusi. Pada masa ini hukum adat masih menjadi dasar pembentukan
hukum, karena hukum adat dianggap sebagai hukum yang universal dan
nilainya melebihi hukum-hukum manapun serta melampui batas kewilayahan
(pemikiran djoyodigoeno).
a. Positivisme dalam Ilmu Hukum
Positivis memerupakan salah satu aliran dalam paham filsafat yang berkembang
di Eropa kontinental, khususnya di Perancis dengan dua eksponennya yang
terkenal, Henri Saint-Simon (1760-1825) dan Auguste Comte (1798-1857). Positivisme
adalah suatu paham yang menuntut agar setiap metodologi yang dipikirkan
untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai
sesuatu yang eksis, suatu obyek yang harus dilepaskan dari sembarang
macam para konsepsi metafisis yang subyektif sifatnya
(SoetandyoWignyosoebroto, 2002: 96). Diaplikasikan kedalam pemikiran
tentang hukum positiv menghendaki dilepasknnya pemikiran metayuridis
mengenai hukum sebagimana dianut oleh para eksponen aliran hukum kodrat.
Karena itu setiap norma hukum haruslah eksis pada alamnya yang obyektif
sebagai norma-norma yang positif, ditegaskan sebagai wujud kesepakatan
kontraktual yang konkrit sebagai kesepakatan antara warga masyarakat
(atau wakil-wakilnya). Hukum tidak lagi harus dikonsepsi sebagai
asas-asas moral metayuridis yang niskala (abstrak) tentang hakekat
keadilan melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai legeatau lex,
guna menjamin kepastian mengenai apa yang dibilang hukum dan apapula
yangsekalipun normatif harus dinyatakan sebagai hal-hal yang terbilang
hukum (SoetandyoWignyosoebroto, 2002: 97).
Paham positivisme dan pengaruhnya
dalam kehidupan bernegara untuk segera mengupayakan positivisasi
norma-norma keadilan (ialah hukum yang dikonsepkan sebagai ius )agar segera menjadi norma perundang-undangan ialah hukum yang dikonsepkan sebagai lege. Sesungguhnya
fungsional untuk mempercepat terwujudnya negara bangsa yang diidealkan
punya struktur yang terintegrasi kukuh secara sentral yang tak pula
banyak bisa dijabarkan secara meluas. Positivisasi hukum selalu
memperoleh prioritas utama dalam setiap upaya pembangunan hukum di
negara-negara yang tengah tumbuh modern dan menghendaki kesatuan dan
atau penyatuan, tak Cuma yang menuju ke nation state melainkan juga yang dulu menuju ke colonial state.
Positivisasi hukum selalu berakibat sebagai proses nasionlisasi dan
etatisasi hukum dalam rangka penyempurnaan kemampuan negara dan
pemerintah untuk memonopoli kontrak sosial yang formal melalui
pemberlakuan atau pendayagunaan hukum positif.
Produk positivisasi yang disebut dengan hukum positif itu sekalipun terbilang positif, dalam arti obyektifitasnya pada hakekatnya adalah tetap merupakan sesuatu yang terbilang fenomena normatif.
Proses positivisasi pada hakekatnya
adalah suatu proses obyektivitas sejumlah norma metayuridis menjadi
sejumlah norma yang positif, sehingga ilmu hukum yang terbangun dari
padanya adalah tetap saja berdasarkan logika normologi dan tidak
berlogika normologis yang induktif untuk menemukan berjumlah nomos yang
eksis sebagai fenomena empiris yang signifikan dalam kehidupan sosial
dan kultural.
Bagaimanapun juga hubungan kausal antara fakta hukum dan akibat hukum
dalam ilmu hukum aliran positivisme ini adalah hasil normatif judgemen
bukan hasil observasi-observasi yang mendayagunakan metode sain guna
menjamin obyektifitas danrealibilitas (Khudzaifah Dimyati , 2004: 240).
Indonesia sebagai salah satu negara
yang menganut positivisme dalam paradigma pembentukan hukumnya.
Tentunya banyak hal yang dapat menjadi satu kelemahan dalam penerapan
hukumnya dalam pandangan positivisme yang dikatakan hukum adalah satu
norma-norma yang telah dipositifkan sedangkan norma-norma yang
tidak tertulis sekalipun itu baik dan bagus bukan disebut sebagai hukum.
Hal inilah yang sering kali indonesia
mengalami persoalan ketika harus menghadapi kejahatan-kejahatan
internasional, seperti kejahatan terorisme misalnya. Kasus-kasus
terorisme yang menjadi satu kejahatan dunia telah masuk ke Indonesia
yang mau-tidak mau dengan tekanan internasional mengharuskan negara
Indonesia terlibat dalam pemberantasan kejahatan terorisme tersebut,
namun yang menjadi masalah adalah kejahatan terorisme yang telah melanda
indonesia, ternyata indonesia dalam hukum positifnya belum mampu
mengakomodir kejahatan tersebut. Sehingga mengharuskannya dalam waktu
singkat membuat aturan hukumnya. Walaupun harus melanggar asas-asas umum
dalam hukum indonesia.
Membangun paradigma pemikiran hukum
di Indonesia menuju modernisasi hukum. Teori positivisme hanya mampu
untuk menjelaskan keadaan serta proses-proses normal seperti
diantisipasi oleh hukum positif dan oleh karena sangat terbatas, untuk
tidak mengatakan gagal apabila dihadapkan dengan suasana kemelut dan
keguncangan seperti yang terjadi di Indonesia. Oleh sebab itu Indonesia
tidak boleh berlarut-larut dalam cara penegakan hukum sebagaimana selama
ini dijalankan. Menurut Satcipto Rahardjo dalam buku teorisasi hukum
karangan Khudzaifah Dimyati mengatakan Indonesia membutuhkan suatu tipe
penegakan hukum progresif, karena pengamatan selama ini menunjukkan,
meski bangsa meneriakkan supremasi hukum dengan keras namun hasilnya
tetaplah mengecewakan (2004: 134).
Demikian halnya dengan dunia pemikiran hukum, secara dialektika terjadi
pemikiran baru yang selalu berujung pada perubahan, reformasi 1998
misalnya merupakan perubahan paradigmatis yaitu dari tatanan kehidupan
yang dibangun berdasarkan paradigma kekuasaan digantikan oleh paradigm
moral akal budi selain itu juga Satcipto Rahrdjo mengatakan bahw ahukum
bukan suatu institusi yang selesai tetapi sesuatu yang diwujudkan secara
terus menerus. Pemahaman hukum secara legalistik positivistik dan
berbasis peraturan perundang-undangan tidak mampu menangkap kebenaran,
karena memang tidak mau melihat dan mengakui hal itu Dalam ilmu hukum
yang legalistik positivistik hukum sebagai institusi pengaturan yang
komplek telah direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier,
mekanistik dan deterministik terutama untuk kepentingan profesi dalam
kontek hukum Indonesia. Doktrin hukum demikian yang masih dominan
termasuk kategori legismenya. Hal ini dikarenakan legisme melihat dunia
hukum dari teleskop perundang-undangan untuk kemudian menghakimi
peristiwa-peristiwa yang terjadi (Satcipto Raharjo, 2000: 9). Untuk
mulai membangun hukum Indonesia maka paradigma yang harus dipakai dalam
pemikiran tersebut adalah harus mencoba meninggalkan paradigma
positivis menuju kepada paradigma sosia lartinya menempatkan hukum
pada kontek sosialnya yang lebih besar dengan kata lain, hukum tidak
dipahami sebagai institusi yang esoterik dan otonom tetapi sebagai
bagian dari proses sosial yang lebih besar. Sehingga terbangun konstruksi hukum yang benar-benar responsif terhadap kemungkinan yang akan terjadi.
BAB III
PENUTUP
Ilmu hukum
tak lepas dari karakter ilmu pengetahuan pada umumnya. Ilmu hukum juga
melanjutkan atau berpedoman pada sejumlah asumsi-asumsi, dalam kerangka
dasar umum habitat ilmu hukum.
Paradigma hukum positif nasional Indonesia yang masih di terima secara
bulat pada saat ini adalah sebuah paradigma hukum yang lahir dari nuansa
kebangsaan setelah melewati perjalanan sejarah panjang atau dalam
istilah Soepomo sebagaimana dikutip oleh A. Gunawansetiadji dalam
bukunya yang berjudul dealektika hukum dan moral dalam pembangunan hukum
di Indonesia.
Ilmu hukum memandang hukum dari dua
aspek; yaitu hukum sebagai sistem nilai dan hukum sebagai aturan
sosial. Dalam mempelajari hukum adalah memahami kondisi intrinsik aturan
hukum. Hal inilah yang membedakan ilmu hukum dengan disiplin lain yang
mempunyai kajian hukum disiplin-disiplin lain tersebut memandang hukum
dari luar. Studi-studi sosial tentang hukum menempatkan hukum sebagai
gejala sosial.
Di antara sejumlah ahli hukum dan
pakar sejarah tentang proses hukum, sejarah hukum dipandang sebagai
catatan mengenai evolusi hukum dan penjelasan teknis tentang bagaimana
hukum-hukum ini berkembang dengan pandangan tentang pemahaman yang lebih
baik mengenai asal-usul dari berbagai konsep hukum. Sebagian orang
menganggapnya sebagai bagian dari sejarah intelektual.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Cf. Rescoe pound, law finding through experience and reason, lectures, university of georgia press, athens. 1960.
Jan Gijssels and Mark van Hoecke, What is Rechtsteorie?., Kluwer, Rechtwetenschappen, Antwerrpen, 1982.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta.
P van Dijk et.al., Van Apeldoorn’s inleiding tot de studie van nederlandse recht, Tjeenk-Willijnk., 1985.
Sunaryati Hartono, “Peranan Teknologi Dalam Peningkatan dan Pengembangan Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum di Indonesia”, dalam Majalah Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional, No.2, 1994.
B. Data-Data Elektronik
Khudzaifah Dimyati, “Kerangka Acuan Menuju Karakteristik Hukum Nasional,”
dalam Kedaulatan Rakyat, 21 Juni 1989; Banyak masalah yang dihadapi
dalam pembangunan hukum nasional, hal itu tidak hanya berkenaan dengan
usaha untuk menciptakan hukum nasional, baik yang sama sekali baru
maupun untuk menggantikan hukum kolonial, juga lihat, Sunaryati Hartono,
“Peranan Teknologi Dalam Peningkatan dan Pengembangan Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum di Indonesia”, dalam Majalah Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional, No.2, 1994, hal.57.